Terus Memanggil Almarhum Suami di Kala Sakit Melanda: Bantu Mak Epoy Bertahan

Di usianya yang ke-71, Mak Epoy sudah terbiasa hidup sendiri setelah suaminya meninggal 12 tahun lalu dan kehilangan satu-satunya anak yang ia miliki. Kesendirian telah menjadi teman setianya di hari-hari yang penuh cobaan.

Untuk menyambung hidup, Mak Epoy bekerja sebagai buruh pemetik teh dengan penghasilan hanya 7.000 rupiah sehari, itu pun tidak selalu pasti. Mak biasa suka bekerja petik teh, sekilo Alhamdulillah dapat 700 rupiah. Dalam sehari Mak hanya mampu petik 10 kilo aja, kalau dijadikan uang hanya 7.000 rupiah. Itu pun kalau sampai sore dan badan Mak sehat, kata Mak Epoy.

Namun, kesulitan semakin menumpuk sejak tangan kirinya patah akibat terjatuh saat memetik teh. Kondisi fisiknya yang melemah membuatnya tidak lagi mampu bekerja keras. Karena keterbatasan biaya, Mak Epoy hanya bisa membawa tangan kirinya yang patah ke tukang pijat tradisional. Hingga kini, tangannya dibiarkan begitu saja dan terlihat membengkak.

Setiap hari, rumah Mak Epoy dipenuhi tangis saat rasa sakit menyerang, disertai panggilan untuk almarhum suaminya yang sudah tiada. Saat malam tiba, ia hanya bisa merintih menahan sakit. Jika beruntung, tetangga akan memberinya sesuap nasi. Jika tidak, Mak harus menahan lapar hingga esok hari. Seringkali, ia hanya makan sepiring nasi dengan garam saja.

Mak pernah menahan lapar dan tak makan apapun selama 2 hari karena tak memiliki uang. Mak hanya bisa menangis dan menahan sakit perut, ujarnya.

Mak Epoy adalah satu dari banyak lansia yang hidup sebatangkara dengan kondisi yang memprihatinkan. Mari ulurkan tangan kita untuk membantu Mak Epoy dan lansia lainnya yang sedang berjuang dalam kesulitan hidup.

Donasi yang terkumpul akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Mak Epoy dan penerima manfaat lainnya di bawah naungan Sahabat Qurthuba. Terima kasih atas kepedulian dan kebaikan hati Anda.